BAB I
PENDAHULUAN
A. Rasional
Sebagaimana diungkapkan oleh Suhandoyo (1993) dalam http://netsains.com, bahwa hakikat pendidikan adalah untuk mengejar pencapaian kualitas hidup yang tinggi para peserta didiknya. Pendidikan dengan demikian harus mampu membongkar dan mengembangkan keseluruhan potensi kemanusiaan seorang peserta didik sehingga ia memiliki kesanggupan untuk hidup di era mendatang yang memiliki kompleksitas permasalahan yang jauh lebih rumit dari yang ada saat ini. Pendidikan juga harus didesain sedemikian rupa agar mampu membebaskan peserta didik untuk berkreasi menemukan keterampilnnya sendiri. Terlebih lagi pendidikan IPA, semestinya pendidikan IPA dengan segala isi dan karakternya bisa memberikan sumbangan yang lebih riel terhadap peserta didik agar ia memiliki bekal yang memadai sehingga dapat bertahan hidup di masyarakat.
Guru mempunyai peran penting untuk membantu siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Dengan demikian, siswa dapat membuat suatu keputusan yang bertanggung jawab mengenai isu-isu sosial, khususnya isu yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Salah satu cara yang populer untuk memperkenalkan siswa dengan isu-isu sosial itu adalah dengan meminta kepada siswa untuk membawa artikel-artikel tentang sains, teknologi dan penggunaannya dalam masyarakat di dalam kelas sains. Mereka diberi pengarahan dan kesempatan yang cukup, agar dapat meneliti isu-isu itu dengan cara mengumpulkan fakta-fakta, merumuskan pendapat-pendapat mereka dan menarik suatu kesimpulan berdasarkan fakta-fakta yang ada.
Salah satu pendekatan yang dipandang tepat untuk digunakan dalam suatu pembelajaran IPA adalah pendekatan Sains Teknologi Society (STS) atau Sains Teknologi Masyarakat (STM). Karena pendekatan ini selalu mengaitkan antara sains, teknologi dan penggunaan sains dan teknologi itu dalam masyarakat. Untuk memperkuat argumentasi diatas, maka perlu adanya landasan psikologi dan teori belajar yang mendasari pembelajaran dengan pendekatan STM/STS yang akan kami coba paparkan dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah untuk mencoba mengemukakan bagaimana landasan psikologi dan teori belajar yang mendasari pembelajaran dengan pendekatan STM/STS?
C. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mencoba mengemukakan landasan psikologi dan teori belajar yang mendasari pembelajaran dengan pendekatan STM/STS
BAB II
PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK IPA
Objek kajian pendidikan IPA berada pada berbagai persoalan/fenomena alam. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Supriyadi (1999: 1) bahwa objek kajian IPA adalah segala fenomena lingkungan (alam) yang berujud titik kecil hingga alam raya yang sangat besar. IPA menurut Depdiknas (2003: 6) merupakan cara mencari tahu tentang alam semesta secara sistematis untuk menguasai pengetahuan, fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip prinsip, proses penemuan, dan memiliki sikap ilmiah.
Trowbidge dan Byebee (1986: 38) memberikan sekema umum ilmu pengetahuan sebagai berikut :

Gambar: IPA sebagai tubuh Ilmu Pengetahuan
Berdasarkan diagram tersebut, Trowbidge dan Byebee (1986: 38) mendefinisikan IPA sebagai berikut : Science is body of knowledge, formed by of continous inquiry, and compassing the people who are engaged in the scientific enterprise. Jadi karakteristik IPA yang kemudian membedakannya dengan ilmu pengetahuan yang lain adalah bahwa IPA ditempuh melalui berbagai penemuan proses empiris secara berkelanjutan yang masing-masing akan memberi kontribusi dengan berbagai jalan untuk membentuk sistem unik yang disebut IPA.
Suyoso (2001: 1-4) mengungkapkan bahwa nilai intelektualitas IPA menuntut kecerdasan dan ketekunan, dalam mencari jawaban suatu persoalan didasarkan atas pertimbangan rasional dan objektivitas dengan melalui observasi atau kegiatan eksperimen untuk memperoleh data yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Secara lebih terperinci, Robert B. Sund (1973: 12) menjelaskan tentang bagaimana suatu
pemahaman IPA ditemukan atau yang sekarang dikenal sebagai metode IPA (scientific method). Setidaknya ada enam langkah untuk melakukan proses IPA , yaitu (1) stating the problem, (2) formulating hypotheses, (3) designing an experiment, (4) making observation, (5) collecting data from the experiment, (6) drawing conclutions.
(http://netsains.com/2008/01/mengemas-sains-teknologi-dan-masyarakat-dalam-pengajaran-sekolah)
B. TUJUAN PENDEKATAN STM/STS
STM dipandang sebagai proses pembelajaran yang senantiasa sesuai dengan konteks pengalaman manusia. Dalam pendekatan ini siswa diajak untuk meningkatakan kreativitas, sikap ilmiah, menggunakan konsep dan proses sains dalam kehidupan sehari-hari.
Dapat diungkapkan bahwa yang menjadi tujuan pendekatan STM ini secara umum sebagaimana diungkapkan oleh Rusymansyah (2006: 3) adalah agar para peserta didik mempunyai bekal pengetahuan yang cukup sehingga ia mampu mengambil keputusan penting tentang masalah-masalah dalam masyarakat dan sekaligus dapat mengambil tindakan sehubungan dengan keputusan yang diambilnya. Dapat disederhanakan bahwa STM dikembangkan dengan tujuan agar:
1) Peserta didik mampu menghubungkan realitas sosial dengan topik pembelajaran di dalam kelas
2) Peserta didik mampu menggunakan berbagai jalan/perspektif untuk mensikapi berbagai isu/ situasi yang berkembang di masyarakat berdasarkan pandangan ilmiah
3) Peserta didik mampu menjadikan dirinya sebagai warga masyarakat yang memiliki tanggungjawab sosial.
(http://netsains.com)
C. LANDASAN PSIKOLOGI PEMBELAJARAN STM/STS
Pendekatan STM dilandasi oleh tiga hal penting yaitu:
a. Adanya keterkaitan yang erat antara sains, teknologi dan masyarakat.
b. Dalam belajar-mengajar menganut pandangan konstruktivisme, yang pada pokoknya menggambarkan bahwa si pelajar membentuk atau membangun pengetahuannya melalui interaksinya dengan lingkungan.
c. Dalam pengajarannya terkandung lima ranah, yang terdiri atas ranah pengetahuan, ranah sikap, ranah proses sains, ranah kreativitas, dan ranah hubungan dan aplikasi (Rusmansyah, 2003:3) dalam http://digilib.unnes.ac.id
Jika menelaah literatur psikologi, kita akan menemukan banyak teori belajar yang bersumber dari aliran-aliran psikologi. Dalam banyak sumber dikemukakan lima jenis teori belajar saja, yaitu: (a) teori behaviorisme; (b) teori belajar konstruktivisme menurut Piaget; (4) teori pemrosesan informasi dari Gagne, dan (5) teori belajar gestalt (http://massofa.wordpress.com).
Berdasarkan Pengertian dan tujuan pendekatan STM yang telah dikemukakan dan dibahas sebelumnya, maka pelaksanaan pendekatan ini memang dilandasi oleh teori belajar kontruktivisme.
Teori Belajar Kontruktivisme:
Landasan teoritik pembelajaran STM adalah teori konstruktivisme yang dikembangkan berdasarkan ide dan hasil kerja secara terpisah oleh Jean Piaget dan Lev Vygotsky yang keduanya tertarik pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Teori konstruktivisme tersebut menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentrasformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Menurut teori ini, guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa, namun siswa harus membangun sendiri pengetahuannya. Guru dapat memberi kempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide sendiri dan siswa menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Menurut Piaget, terdapat empat fase dalam perkembangan kognitif, yaitu: (1) sensori motor (usia 0 - 2 tahun), (2) pra operasional (2- 7 tahun), (3) operasional konkrit (7 - 11 tahun ) dan (4) operasi formal (11 - dewasa) yang merupakan tahap final perkembangan kognitif.
Menurut teori ini, usia SD (7 - 12 tahun) merupakan usia dalam fase operasional konkrit dan tahap awal operasi formal. Dalam tahap operasi konkrit, perkembangan intelektual anak bersifat berpikir konkret, karena daya otak terbatas pada obyek melalui pengamatan langsung. Dalam tahap ini anak dapat mengembangkan operasi mental, seperti menambah dan mengurangi. Anak mulai mengembangkan struktur kognitif berupa ide atau konsep dan mulai melakukan operasi logika dengan pola berpikir masih konkret.
Dalam operasi formal, anak telah mengembangkan kemampuan terlibat dalam berbagai aktivitas yang berkaitan dengan situasi hipotesis dan memonitor jalan pikirannya sendiri. Ciri lain berpikir secara formal erat kaitannya dengan operasi matematika, yaitu berpikir secara logika matematika. Pengertian tentang konsep waktu dan ruang telah meningkat secara signifikan. Belajar fisika misalnya, berarti harus mengembangkan cara berpikir abstrak, deduksi, berhipotesa, berpikir luas dan meneluruh menggunakan pengetahuan yang sudah ada, melihat hubungan antar variabel dan berpikir secara terarah sesuai dengan permasalahan yang dihadapi.
Dalam pembelajaran perlu ditekankan penggunaan berpikir formal sehingga diperoleh konsep formal. Hal ini bukan berarti untuk mempersulit anak belajar Sains, namun melatih anak untuk belajar formal. Dengan konsep yang lebih formal maka akan terbentuk struktur ilmu yang lebih kokoh, terhindar dari penyerapan konsep yang salah dan terbentuk kesetimbangan baru yang lebih tinggi. Dengan demikian akan terbentuk potensi belajar mandiri, mengkuti perkembangan ilmu yang maju dengan pesat. Pemikiran Piaget sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, mestinya ditunjang oleh pemikiran para ahli pengembangan kurikulum. Berkaitan dengan hal tersebut, Piaget telah mengemukakan beberapa saran sebagai berikut:
(1) harus lebih memberikan penekanan terhadap keaktifan siswa dan terbentuknya motivasi intrinsic;
(2) memberikan pengalaman tidak hanya mempelajari fenomena, tetapi menemukan bagaimana caranya menggunakan pikiran;
(3) kembangkan kurikulum sehingga memungkinkan terjadinya pengembangan dari berpikir konkret ke berpikir abstrak;
(4) jangan hanya mengembangkan materi pembeljaran berdasarkan organisasi materi menurut logika tetapi harus juga mempertimbangkan juga strategi pengembangan kognitif (menurut Ausubel, kebermaknaan logika dan kebermaknaan psikologis);
(5) kurikulum harus memberi kesempatan kepada anak/siswa untuk mengembangkan kemampuan kognitifnya;
(6) menyiapkan pengetahuan yang siap untuk digunakan di samping hanya pengetahuan materi pelajaran. Proses pembelajaran Sains yang sesuai dengan tuntutan di atas, dapat dilaksanakan melalui pembelajaran dengan pendekatan penemuan (discovery), inkuiri, keterampilan proses, pendekatan Salingtemas dan lainnya
(http://aplikasifisika.blogspot.com)
Pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran menekankan pengajaran top down daripada bottom-up. Top down berarti bahwa siswa mulai dengan masalah kompleks untuk dipecahkan dan kemudian memecahkan atau menemukan (dengan bimbingan guru) keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan. Sedangkan pendekatan bottom-up tradisional yang mana keterampilan-keterampilan dasar secara tahap demi tahap dibangun menjadi keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks. (Slavin, 1997 dalam Nur dan Retno,2000:7). Sehingga dapat dikatakan bahwa di dalam kelas yang terpusat pada siswa peran guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan kelas. (http://penelitiantindakankelas.blogspot.com.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pengajaran dengan pendekatan Sains dan Teknologi Masyarakat dilandasi oleh teori konstruktivisme dimana teori konstruktivisme tersebut menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentrasformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Menurut teori ini, guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa, namun siswa harus membangun sendiri pengetahuannya.
B. Saran
Perlu adanya teori yang lebih banyak lagi terkait dengan landasan pembelajaran pendekatan STM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar